INterkin – Salah satu tradisi yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Suku Sasak di Lombok adalah peresean atau perisaian. Tradisi ini menampilkan pertarungan antara dua pria dalam sebuah adu kekuatan yang diiringi oleh musik dan sorak sorai penonton. Meski terdengar mengerikan, pertunjukan ini tetap menjadi daya tarik tersendiri, terutama bagi mereka yang berani menyaksikan langsung aksi penuh adrenalin ini.
Apa Itu Peresean?
Peresean adalah tradisi yang melibatkan dua orang yang dikenal dengan sebutan pepadu, yang saling berhadapan dalam pertarungan sengit di arena. Setiap pepadu dilengkapi dengan senjata berupa penjalin, yaitu rotan panjang yang digunakan untuk memukul lawan, serta sebuah ende, tameng persegi yang berfungsi untuk melindungi diri. Dalam tradisi ini, para pepadu hanya mengenakan celana tradisional Lombok dan ikat kepala, bertelanjang dada tanpa pakaian atasan.
Menurut disbudpar.ntbprov.go.id, para pepadu akan memulai pertarungan dengan iringan musik tabuhan yang menggugah semangat. Selama pertarungan, mereka akan diawasi oleh seorang wasit yang disebut pekembar. Terdapat dua pekembar dalam setiap pertarungan, yaitu pekembar sedi yang berada di luar arena, dan pekembar tengah yang berada di tengah arena untuk mengatur jalannya pertandingan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pertarungan akan berlangsung dalam lima ronde, dan jika salah satu pepadu terluka atau mengeluarkan darah, ia dianggap kalah. Namun, apabila setelah lima ronde belum ada yang kalah, keputusan pemenang akan ditentukan oleh pekembar.
Makna dan Sejarah Tradisi Peresean
Meski kini lebih dikenal sebagai pertunjukan seni budaya, tradisi peresean memiliki sejarah yang dalam dan penuh makna. Dilansir dari bobo.grid.id, peresean pada awalnya bukan sekadar hiburan, melainkan sebuah cara untuk menyeleksi para prajurit di masa Kerajaan Lombok. Pemenang peresean di masa lalu dianggap sebagai kandidat terkuat yang layak untuk menjadi prajurit kerajaan.
Selain itu, peresean juga memiliki dimensi spiritual yang kental. Pada bulan ketujuh dalam kalender Suku Sasak, tradisi ini dilakukan untuk memohon kepada alam agar hujan turun. Konon, apabila salah satu pepadu meneteskan darah ke tanah, hujan diyakini akan segera turun, memberi berkah bagi masyarakat sekitar.
Seiring berjalannya waktu, makna peresean bergeser dari seni bela diri menjadi pertunjukan seni tari yang menghibur. Namun, esensi dari tradisi ini tetap terjaga, dengan nilai-nilai keberanian, kekuatan, dan kedekatan masyarakat Suku Sasak dengan alam dan leluhur mereka.

Peresean: Warisan Budaya yang Tetap Hidup
Meskipun zaman telah berubah, peresean tetap dilestarikan sebagai simbol kekuatan dan keberanian, serta sebagai bagian dari identitas budaya Lombok yang kaya. Tradisi ini bukan hanya sekadar tontonan, tetapi juga merupakan warisan yang memperkuat rasa kebersamaan dan menghormati alam.
Dengan setiap pertarungan peresean, para pepadu dan penonton turut merayakan nilai-nilai budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Sasak. Peresean bukan hanya sekadar adu fisik, melainkan sebuah pertunjukan yang mengajarkan kita tentang semangat, keberanian, dan hubungan harmonis antara manusia dan alam.
Penulis : Sufianti INterkin
Editor : Aprilia INterkin
Sumber Berita : Indonesia Terkini