Fukushima – 14 tahun yang lalu, pada 11 Maret 2011, Jepang mengalami salah satu bencana alam terburuk dalam sejarahnya. Gempa berkekuatan M9 yang mengguncang wilayah Fukushima selama 6 menit, diikuti oleh tsunami setinggi 40 meter, menyebabkan kehancuran besar-besaran. Namun, bencana tersebut tak hanya mengubah kehidupan masyarakat Jepang, tetapi juga memicu salah satu krisis nuklir paling mematikan dalam sejarah.
Mizue Kanno, seorang warga Fukushima, mengenang dengan jelas pengalaman traumatiknya saat bencana itu terjadi. Meskipun sudah terbiasa dengan gempa, pengalaman tersebut sangat berbeda. Rumah Kanno hancur dalam sekejap, namun ia masih beruntung bisa selamat karena berada cukup jauh dari bibir pantai yang tersapu tsunami.
Namun, pada 12 Maret 2011, Kanno menyaksikan tanda-tanda yang lebih mengkhawatirkan. Tim penyelamat terlihat mengenakan pakaian pelindung lengkap, sementara warga diminta untuk segera mengungsi. “Saya melihat mobil berisi orang-orang berpakaian pelindung dan masker gas. Mereka meminta kami segera pergi ke zona aman,” kenang Kanno, yang merasa ada tanda bahaya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ternyata, penyebabnya adalah ledakan besar yang terjadi di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima, yang melepaskan radiasi nuklir ke atmosfer dan mencemari wilayah sekitar. Wilayah dalam radius 20 kilometer terpaksa dikosongkan, dan hingga saat ini, warga yang terpaksa mengungsi belum dapat kembali ke rumah mereka.
Bencana nuklir ini menjadi yang ketiga dalam sejarah Jepang setelah Tragedi Hiroshima dan Nagasaki pada 1945, dan juga menandai krisis nuklir terbesar setelah Tragedi Chernobyl di Ukraina pada 1986.
Kecerobohan dan Kelalaian dalam Penanganan PLTN Fukushima
Selama ini, Jepang dikenal sebagai negara dengan kedisiplinan tinggi dan kebiasaan yang telaten. Namun, dalam kasus ledakan PLTN Fukushima, kelalaian dan kesalahan manusia turut berperan besar. Beberapa minggu sebelum gempa, para ahli nuklir Jepang sudah memperingatkan adanya keretakan pada sistem pendinginan reaktor yang dapat menjadi masalah serius saat terjadi gempa besar. Namun, pengelola PLTN Fukushima memilih untuk menutupi masalah tersebut.
“Para pejabat dan pekerja lebih memilih untuk diam dan menutup-nutupi masalah tersebut, karena takut menghadapi sanksi yang akan berdampak pada pekerjaan mereka,” ujar laporan New York Times.
Masalah ini sebenarnya sudah terdeteksi sejak masa pra-konstruksi PLTN. Noboru Nakao, seorang konsultan PLTN Jepang, menjelaskan bahwa regulasi keamanan Jepang mengacu pada metode deterministik, yang berfokus pada catatan bencana di masa lalu, bukannya menggunakan pendekatan probabilistik yang mempertimbangkan kemungkinan terjadinya bencana lebih besar di masa depan.
Selama bertahun-tahun, pemerintah Jepang merancang PLTN dengan mempertimbangkan gempa dengan kekuatan maksimum M8 dan tsunami setinggi 3,5 meter. Pemerintah percaya bahwa gempa dengan kekuatan lebih besar tidak akan terjadi. Namun, penelitian yang muncul beberapa tahun sebelum bencana menunjukkan bahwa gempa dengan kekuatan lebih besar bisa saja terjadi, namun pemerintah mengabaikannya.
Pada akhirnya, kekhawatiran itu terbukti. Gempa berkekuatan M9 yang disusul tsunami 40 meter menghantam Jepang pada 11 Maret 2011 dan menyebabkan kehancuran di Fukushima.
Kekuatan Alam yang Terabaikan: “Senjata Makan Tuan”
Profesor Costas Synolakis, seorang ahli Teknik Sipil di University of Southern California, mengungkapkan, “Jepang telah meremehkan risiko tsunami dan kelalaian ini menyebabkan bencana besar.” Dengan kata lain, kesalahan dalam meremehkan potensi bencana alam yang jauh lebih besar dari yang diperkirakan berkontribusi pada tragedi ini.
Alam akhirnya membuktikan bahwa gempa yang lebih besar dan tsunami yang lebih tinggi memang bisa terjadi, dan hal ini menjadi “senjata makan tuan” bagi negara yang terkenal dengan kedisiplinannya.
Akibat ledakan nuklir tersebut, wilayah Fukushima kini tercemar oleh radiasi nuklir yang akan bertahan selama puluhan tahun. Warga yang sebelumnya kehilangan rumah dan keluarga akibat gempa dan tsunami kini harus mengungsi dan meninggalkan daerah mereka selamanya. Bencana ini menjadi beban berat yang harus dipikul oleh masyarakat Fukushima, yang harus menghadapi kehancuran ganda – fisik dan lingkungan.
Pelajaran Berharga dari Tragedi Fukushima
Krisis nuklir Fukushima memberikan pelajaran penting tentang pentingnya kesiapsiagaan, transparansi, dan respons terhadap peringatan dini dalam mengelola risiko bencana. Ketidakmampuan untuk memperhitungkan potensi bencana yang lebih besar serta kelalaian dalam penanganan infrastruktur kritis telah menyebabkan kerugian yang tak terbayangkan.
Bencana ini juga menyoroti pentingnya strategi mitigasi yang lebih canggih dan adaptif dalam menghadapi bencana alam, yang semakin tidak bisa diprediksi dalam konteks perubahan iklim dan ketidakpastian geologis.