Fukushima – 11 Maret 2011, pukul 15:36 waktu setempat, menjadi hari yang akan dikenang sepanjang hidup Ryo Kanouya. Pada hari itu, ia hampir menjadi korban dari bencana alam yang tak terbayangkan: gempa bumi dahsyat dengan kekuatan M9 yang diikuti oleh tsunami setinggi 40 meter yang menerjang pesisir Jepang, menghancurkan hampir segala sesuatu yang ada di jalurnya.
Pada pagi itu, Ryo menjalani rutinitas sehari-hari. Seperti biasanya, ia berangkat bekerja dengan perasaan tenang, tidak ada yang mencurigakan. Ia tiba di kantor dan mulai bekerja, berbincang sesekali dengan rekan-rekannya. Seperti kebanyakan orang, ia tidak mengira akan ada perubahan besar dalam hidupnya pada hari itu. Hingga jam menunjukkan pukul 15:30, ketika peringatan gempa datang.
Gempa yang Mengguncang Fukushima
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tiba-tiba, ponsel Ryo dan seluruh rekan kerjanya berdering bersamaan. Peringatan gempa datang dengan cepat, diikuti oleh guncangan hebat yang menggoyang bangunan. Dalam hitungan detik, suasana kantor berubah menjadi panik. Bangunan bergoyang, dan orang-orang berlarian mencari tempat perlindungan.
“Gempa itu sangat kuat, saya merasa seolah-olah tanah sedang bergerak. Bangunan di sekitar kami tampak seperti bergerak sendiri, dan semuanya bergetar. Rasanya sangat mengerikan,” kenang Ryo, mengenang detik-detik yang mengubah hidupnya. Setelah enam menit, gempa pun reda, tetapi ketenangan itu hanya berlangsung sejenak.
Tsunami yang Lebih Dahsyat
Begitu gempa berhenti, Ryo mencoba menenangkan dirinya. Namun, peringatan tsunami segera mengikuti, memperburuk ketegangan. Awalnya, otoritas hanya memperkirakan tsunami setinggi tiga meter, yang dianggap dapat diatasi. Perusahaan tempat Ryo bekerja memerintahkan seluruh karyawan untuk segera pulang dan membantu warga yang membutuhkan.
Ryo, yang rumahnya hanya satu kilometer dari pantai, bergegas pulang dengan harapan semuanya akan aman. Setibanya di rumah, ia merasa sedikit lega karena air laut belum juga menunjukkan tanda-tanda datang. Keluarganya juga merasa tenang, berpikir bahwa peringatan tsunami hanya akan menghasilkan gelombang kecil. Namun, ketakutan Ryo ternyata terbukti benar.
Gelombang Mematikan
Ketika Ryo melihat ke luar jendela rumahnya, ia terkejut. Gelombang air datang begitu cepat, lebih cepat dari yang bisa ia bayangkan. “Air datang sangat cepat dan langsung menyapu rumah saya. Saya hanya bisa terdiam, tak tahu apa yang harus dilakukan,” ujarnya dengan suara terbata-bata.
Gelombang tsunami yang semula diperkirakan hanya setinggi tiga meter ternyata terus meninggi. Rumah Ryo yang berada di tepi pantai tak mampu bertahan. Ketika gelombang semakin tinggi dan arus semakin kuat, rumahnya pun hancur dalam sekejap. Ryo yang terombang-ambing di tengah laut merasa seolah-olah seluruh dunia telah berakhir. “Pada saat itu, saya hanya berharap bisa menghembuskan napas terakhir saya. Rasanya saya sudah tidak bisa bertahan lagi,” kenang Ryo, mengenang saat-saat kelam yang hampir merenggut nyawanya.
Namun, takdir belum mengakhiri kisahnya. Saat terombang-ambing di atas air, Ryo berhasil bertahan dengan memegang sebuah lemari yang terapung. “Pada saat itu, saya merasa sedikit lega. Saya bisa bertahan, meski begitu banyak orang di sekitar saya tenggelam atau terjebak di puing-puing,” lanjutnya dengan suara penuh keprihatinan.
Pemandangan Mengerikan dan Kelegaan Setelah Air Surut
Seiring dengan berjalannya waktu, air tsunami mulai surut, dan Ryo pun berhasil kembali ke daratan. Begitu ia menginjakkan kaki di tanah, tubuhnya langsung terasa lemas. “Ketika saya melihat ke sekitar, Fukushima telah hancur. Semua bangunan rata dengan tanah. Banyak orang yang hilang dan banyak yang terluka,” ujar Ryo dengan suara pilu. Meski ia sendiri selamat tanpa luka, rasa syukurnya bercampur dengan kesedihan mendalam karena begitu banyak nyawa yang hilang dalam bencana tersebut.
Di tengah kehancuran itu, ada satu hal yang masih membuat Ryo bersyukur: keluarganya masih selamat. Ayah, ibu, dan saudara perempuannya berhasil bertahan. Namun, neneknya hilang tanpa jejak, diduga menjadi korban tsunami yang tidak bisa ditemukan hingga saat ini. “Nenek saya hilang, dan sampai sekarang kami belum tahu di mana dia,” tambah Ryo, mengenang kehilangan yang tidak bisa digantikan.
Kiamat Belum Selesai: Krisis Nuklir Fukushima
Namun, bencana yang menimpa Fukushima tidak berhenti hanya pada gempa dan tsunami. Keesokan harinya, tepat pada 12 Maret 2011, rakyat Jepang dikejutkan oleh pengumuman mengejutkan: reaktor nuklir Fukushima meledak dan mengeluarkan radiasi ke lingkungan sekitar. Seluruh wilayah di sekitar PLTN Fukushima harus dikosongkan, dan kota Fukushima menjadi tidak layak huni akibat pencemaran radiasi.
Dampak Bencana yang Menghancurkan
Gempa megathrust berkekuatan M9 dan tsunami setinggi 40 meter yang melanda Jepang pada 11 Maret 2011 bukan hanya menghancurkan fisik, tetapi juga merenggut kehidupan lebih dari 18.500 orang. Lebih dari 10.000 orang hilang, sementara ribuan rumah dan bangunan musnah. Dalam laporan Britannica, disebutkan bahwa bencana ini meninggalkan luka mendalam yang akan terasa selama bertahun-tahun.
Namun, bencana tidak berhenti di situ. Krisis nuklir Fukushima menambah kesulitan bagi para korban yang selamat. Banyak yang harus meninggalkan rumah mereka selamanya, dan radiasi yang tersebar memaksa ribuan orang untuk mengungsi jauh dari rumah mereka.
Refleksi dan Pembelajaran
Tragedi ini bukan hanya tentang kehancuran fisik, tetapi juga tentang pelajaran yang harus diambil. Ryo Kanouya, seperti ribuan orang lainnya, harus menghadapi kenyataan bahwa meskipun mereka berhasil bertahan hidup, hidup mereka tidak akan pernah sama lagi. “Kehilangan, trauma, dan kekuatan alam yang luar biasa ini mengajarkan kita betapa rapuhnya kehidupan manusia. Tapi saya bersyukur saya masih bisa bersama keluarga saya,” ujar Ryo dengan penuh kesyukuran meski masih dibayangi duka.
Bencana Fukushima adalah pengingat yang keras bahwa kita tidak bisa memprediksi kekuatan alam yang luar biasa. Ini adalah panggilan untuk lebih waspada, siap menghadapi bencana yang lebih besar, dan lebih menghargai hidup yang kita miliki.